Alih-alih masalah ekonomi, perburuan dan perdagangan si ekor panjang secara ilegal, kian merajalela !!!
Sarimin pergi ke pasar, duk.. dag.. dung.. dung..
Dari kejauhan irama dari tabuhan gendang dan kalimat itulah yang “acap kali” terdengar ketika kita tak sengaja melewati kerumunan penonton yang berjejal untuk menyaksikan sebuah pertunjukan yang berkonsep ala kadarnya namun cukup mencuri perhatian banyak orang, mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua mereka larut dengan kesukacitaan yang sama kala melihat sang primadona pertunjukan tersebut melakukan atraksinya.
Ya primadona itu tak lain adalah seekor monyet ekor panjang yang memiliki nama latin Macaca fascicularis hewan tersebut memang sangat sering digunakan sebagai “actor” dari sebuah pertunjukan topeng monyet, tak jarang pula para ilmuan menggunakanya sebagai hewan percobaan dalam sebuah penelitian. Monyet jenis ini memang cukup populer. Ia sangat mudah beradaptasi dan menjadi salah satu hewan liar yang mampu mengikuti peradaban manusia. Monyet jenis ini banyak tersebar di berbagai tempat di Asia dan merupakan monyet asli Asia Tenggara. Karena kemampuan adaptasinya yang cukup bagus, monyet ekor panjang terbiasa dengan kehadiran manusia sehingga banyak dipelihara.
Di beberapa daerah di Indonesia, monyet jenis ini memiliki sebutannya masing-masing. Orang Bali menyebutnya bojog, di Jawa menyebutnya kethek atau munyuk, dan orang Sunda menyebutnya kunyuk, onces, dan ada juga yang menyebutnya monyet.
Monyet ekor panjang hidup berkelompok antara lima hingga 40-an ekor lebih. Dalam satu kelompok, biasanya terdapat dua hingga lima pejantan dengan jumlah betina dua sampai lima kali lipatnya. Salah satu monyet jantan akan menjadi pemimpin kelompok. Seekor pejantan bisa melakukan perkawinan dengan beberapa betina sekaligus.
Saat masih bayi, monyet ini ukurannya hanya sejengkal tangan orang dewasa. Setelah dewasa, panjang tubuh bisa sekitar 38 hingga 55 sentimeter, ditambah ekor sepanjang 40 sampai 65 sentimeter. Beratnya pun bisa mencapai lima sampai sembilan kilogram untuk jantan dan tiga sampai enam kilogram untuk monyet betina.
Bulu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) berwarna cokelat keabuabuan hingga cokelat kemerahan dengan wajah berwarna abu-abu kecokelatan serta jambang di pipi berwarna abu-abu, terkadang terdapat jambul di atas kepala. Hidungnya datar dengan ujung hidung menyempit. Monyet ini memiliki gigi seri berbentuk sekop, gigi taring, dan geraham untuk mengunyah makanan.
Karena kemampuannya beradaptasi, primata ini bisa hidup di beragam ekosistem, misalnya, di hutan bakau di tepi pantai, dataran rendah, hingga di pegunungan dengan ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.
Dalam mencari makan, monyet ekor panjang selalu merubah daerah jelajahnya, tergantung pada ketersediaan makanan. Makananya daun, buah, biji, dan bunga. Selain itu juga makan serangga, telur anak burung, kepiting, udang, kerang, dll.
Belum ada Undang-undang khusus yang melindungi
Secara umum, populasi monyet ekor panjang masih dianggap aman. Di Indonesia, primata ini bahkan belum termasuk salah satu binatang yang dilindungi. Namun, menurut Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, meski bukan hewan yang dilindungi, perburuan besarbesaran, terutama untuk ekspor, membuat pemanfaatan primata ini harus diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan. Lantaran perburuan besar-besaran yang terus terjadi, pemanfaatan M. fascicularis khususnya untuk pasar ekspor telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 26/Kpts-II/94 tanggal 20 Januari 1994 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca Fascicularis), Beruk (Macaca Nemestrina) dan Ikan Arwana (Scleropagus Formosus) untuk Keperluan Ekspor. Yang mana dalam peraturan ini pemanfaatan Macaca fascicularis untuk keperluan eksport harus berasal dari hasil penangkaran.
Situs resmi ProFauna Indonesia juga menyebutkan, sejak 2006, terjadi peningkatan jumlah kuota tangkap monyet ekor panjang dari berbagai wilayah Indonesia. Pada 2006, jumlahnya 2.000 ekor, pada 2007 meningkat menjadi 4.100 ekor, dan 2008 diusulkan naik lagi menjadi 5.100 ekor. Angka tersebut terus diusulkan bertambah. Monyet-monyet tersebut digunakan untuk pengganti induk tangkar, penelitian, dan biomedis.
Peningkatan kuota tangkap monyet tersebut tidak mempunyai dasar ilmiah kuat yang menjamin kelestarian monyet di alam. Memang di beberapa tempat populasi monyet ekor cukup tinggi, tetapi di banyak daerah di Indonesia monyet ekor panjang mulai menghilang.
Menghilangnya populasi monyet ini disebabkan oleh degradasi habitat yang luar biasa. Di antaranya konversi hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, dan illegal logging bahkan perumahan. Ini membuat jenis primata ini kian terdesak keberadaannya.
Meskipun bukan satwa yang dilindungi dan populasinya masih banyak bahkan dibeberapa kawasan lindung pernah diberitakan kelebihan populasi monyet jenis ini dan di beberapa daerah kerap menjadi hama para petani, namun bukan berarti keberadaan satwa ini aman.
Justru karena lantaran tidak termasuk satwa yang dilindungi monyet jenis ini paling rentan terhadap ekspoitasi baik diburu, diperdagangkan, dan dijadikan objek tontonan. Ditambah dengan tingkat deforestasi yang terjadi dan penyempitan luas hutan di Indonesia, bukan tidak mungkin Monyet Ekor Panjang akan ikut terancam. Yang jelas, fakta penangkapan dan perdagangan monyet itu sarat dengan kekejaman.
Karenanya, ProFauna terus melakukan kampanye untuk menyosialisasikan agar penangkapan monyet ekor panjang di alam segera dihentikan. Jika untuk kepentingan penelitian, seharusnya monyet tersebut adalah hasil penangkaran, bukan hasil tangkapan dari alam, ungkap Rosek.
Peningkatan kuota tangkap monyet ekor panjang dari tahun ke tahun juga menunjukkan kegagalan penangkaran monyet di Indonesia. Karena itu, Pro Fauna me nilai, Departemen Kehutanan perlu mengevaluasi usaha penangkaran monyet ini.
ProFauna menganggap tak ada alasan kuat untuk menambah kuota tangkap monyet. Kuota tangkap yang ada saat ini dinilai sudah terlalu besar. Moratorium penangkapan monyet di alam perlu dipertimbangkan jika melihat laju rusak nya habitat yang begitu besar dan tingginya perdagangan monyet.
(Sumber : Wikipedia, Alamendah’s blog, Merbabu.com, Republika Online)
Sarimin pergi ke pasar, duk.. dag.. dung.. dung..
Dari kejauhan irama dari tabuhan gendang dan kalimat itulah yang “acap kali” terdengar ketika kita tak sengaja melewati kerumunan penonton yang berjejal untuk menyaksikan sebuah pertunjukan yang berkonsep ala kadarnya namun cukup mencuri perhatian banyak orang, mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua mereka larut dengan kesukacitaan yang sama kala melihat sang primadona pertunjukan tersebut melakukan atraksinya.
Ya primadona itu tak lain adalah seekor monyet ekor panjang yang memiliki nama latin Macaca fascicularis hewan tersebut memang sangat sering digunakan sebagai “actor” dari sebuah pertunjukan topeng monyet, tak jarang pula para ilmuan menggunakanya sebagai hewan percobaan dalam sebuah penelitian. Monyet jenis ini memang cukup populer. Ia sangat mudah beradaptasi dan menjadi salah satu hewan liar yang mampu mengikuti peradaban manusia. Monyet jenis ini banyak tersebar di berbagai tempat di Asia dan merupakan monyet asli Asia Tenggara. Karena kemampuan adaptasinya yang cukup bagus, monyet ekor panjang terbiasa dengan kehadiran manusia sehingga banyak dipelihara.
Di beberapa daerah di Indonesia, monyet jenis ini memiliki sebutannya masing-masing. Orang Bali menyebutnya bojog, di Jawa menyebutnya kethek atau munyuk, dan orang Sunda menyebutnya kunyuk, onces, dan ada juga yang menyebutnya monyet.
Monyet ekor panjang hidup berkelompok antara lima hingga 40-an ekor lebih. Dalam satu kelompok, biasanya terdapat dua hingga lima pejantan dengan jumlah betina dua sampai lima kali lipatnya. Salah satu monyet jantan akan menjadi pemimpin kelompok. Seekor pejantan bisa melakukan perkawinan dengan beberapa betina sekaligus.
Saat masih bayi, monyet ini ukurannya hanya sejengkal tangan orang dewasa. Setelah dewasa, panjang tubuh bisa sekitar 38 hingga 55 sentimeter, ditambah ekor sepanjang 40 sampai 65 sentimeter. Beratnya pun bisa mencapai lima sampai sembilan kilogram untuk jantan dan tiga sampai enam kilogram untuk monyet betina.
Bulu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) berwarna cokelat keabuabuan hingga cokelat kemerahan dengan wajah berwarna abu-abu kecokelatan serta jambang di pipi berwarna abu-abu, terkadang terdapat jambul di atas kepala. Hidungnya datar dengan ujung hidung menyempit. Monyet ini memiliki gigi seri berbentuk sekop, gigi taring, dan geraham untuk mengunyah makanan.
Karena kemampuannya beradaptasi, primata ini bisa hidup di beragam ekosistem, misalnya, di hutan bakau di tepi pantai, dataran rendah, hingga di pegunungan dengan ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.
Dalam mencari makan, monyet ekor panjang selalu merubah daerah jelajahnya, tergantung pada ketersediaan makanan. Makananya daun, buah, biji, dan bunga. Selain itu juga makan serangga, telur anak burung, kepiting, udang, kerang, dll.
Belum ada Undang-undang khusus yang melindungi
Secara umum, populasi monyet ekor panjang masih dianggap aman. Di Indonesia, primata ini bahkan belum termasuk salah satu binatang yang dilindungi. Namun, menurut Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, meski bukan hewan yang dilindungi, perburuan besarbesaran, terutama untuk ekspor, membuat pemanfaatan primata ini harus diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan. Lantaran perburuan besar-besaran yang terus terjadi, pemanfaatan M. fascicularis khususnya untuk pasar ekspor telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 26/Kpts-II/94 tanggal 20 Januari 1994 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca Fascicularis), Beruk (Macaca Nemestrina) dan Ikan Arwana (Scleropagus Formosus) untuk Keperluan Ekspor. Yang mana dalam peraturan ini pemanfaatan Macaca fascicularis untuk keperluan eksport harus berasal dari hasil penangkaran.
Situs resmi ProFauna Indonesia juga menyebutkan, sejak 2006, terjadi peningkatan jumlah kuota tangkap monyet ekor panjang dari berbagai wilayah Indonesia. Pada 2006, jumlahnya 2.000 ekor, pada 2007 meningkat menjadi 4.100 ekor, dan 2008 diusulkan naik lagi menjadi 5.100 ekor. Angka tersebut terus diusulkan bertambah. Monyet-monyet tersebut digunakan untuk pengganti induk tangkar, penelitian, dan biomedis.
Peningkatan kuota tangkap monyet tersebut tidak mempunyai dasar ilmiah kuat yang menjamin kelestarian monyet di alam. Memang di beberapa tempat populasi monyet ekor cukup tinggi, tetapi di banyak daerah di Indonesia monyet ekor panjang mulai menghilang.
Menghilangnya populasi monyet ini disebabkan oleh degradasi habitat yang luar biasa. Di antaranya konversi hutan menjadi lahan pertanian, pertambangan, dan illegal logging bahkan perumahan. Ini membuat jenis primata ini kian terdesak keberadaannya.
Meskipun bukan satwa yang dilindungi dan populasinya masih banyak bahkan dibeberapa kawasan lindung pernah diberitakan kelebihan populasi monyet jenis ini dan di beberapa daerah kerap menjadi hama para petani, namun bukan berarti keberadaan satwa ini aman.
Justru karena lantaran tidak termasuk satwa yang dilindungi monyet jenis ini paling rentan terhadap ekspoitasi baik diburu, diperdagangkan, dan dijadikan objek tontonan. Ditambah dengan tingkat deforestasi yang terjadi dan penyempitan luas hutan di Indonesia, bukan tidak mungkin Monyet Ekor Panjang akan ikut terancam. Yang jelas, fakta penangkapan dan perdagangan monyet itu sarat dengan kekejaman.
Karenanya, ProFauna terus melakukan kampanye untuk menyosialisasikan agar penangkapan monyet ekor panjang di alam segera dihentikan. Jika untuk kepentingan penelitian, seharusnya monyet tersebut adalah hasil penangkaran, bukan hasil tangkapan dari alam, ungkap Rosek.
Peningkatan kuota tangkap monyet ekor panjang dari tahun ke tahun juga menunjukkan kegagalan penangkaran monyet di Indonesia. Karena itu, Pro Fauna me nilai, Departemen Kehutanan perlu mengevaluasi usaha penangkaran monyet ini.
ProFauna menganggap tak ada alasan kuat untuk menambah kuota tangkap monyet. Kuota tangkap yang ada saat ini dinilai sudah terlalu besar. Moratorium penangkapan monyet di alam perlu dipertimbangkan jika melihat laju rusak nya habitat yang begitu besar dan tingginya perdagangan monyet.
(Sumber : Wikipedia, Alamendah’s blog, Merbabu.com, Republika Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar